Kaltim Terima Insentif Rp260 Miliar, Ada Reward untuk Masyarakat Hukum Adat, Kompensasi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

12

Samarinda, Tribun – Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menerima kompensasi[1] atas kinerja pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar Rp200 miliar. Dana tersebut bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim dan 8 kabupaten/kota, tahun ini. Penyaluran kompensasi Rp110 miliar melalui skema APBD, sedangkan Rp150 miliar akan disalurkan kepada 441 desa di Kaltim melalui lembaga yang ditunjuk Pemprov Kaltim.

Delapan daerah di Kaltim yang berhak atas dana kompensasi REDD+[2] dan Program PCPF yakni Kabupaten Berau, Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Mahakam Ulu, Paser, Penajam Paser Utara, dan Kota Balikpapan.

Pada Selasa (28/2/2023), Gubernur Kaltim Isran Noor menghadiri Penghargaan Adipura Tahun 2022 dan Penandatanganan Perjanjian Pembayaran Insentif Implementasi REDD + Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF), di Auditorium Dr Soedjarwo, Gedung Manggala Wanabakti Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Dalam keterangan resmi Adpimprov yang diperoleh Tribunkaltim, Gubernur Isran Noor mengungkapkan rasa syukurnya telah ditandatangani kesepakatan untuk pembayaran insentif FCPF-CF Kaltim. Nantinya, dari pembayaran pertama oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Kementerian Keuangan, BPKAD Provinsi Kaltim dan BPKAD se-Kaltim.

Penandatanganan dilakukan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Djoko Hendratto bersama Kepala BPKAD Provinsi Kaltim, dan Kepala BPKAD delapan kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Berau, Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Kutai Timur, Mahakam Ulu, Paser, Penajam Paser Utara, dan Kota Balikpapan. “Sangat bangga kepada Provinsi Kaltim. Saya harap segera dilaksanakan dan dikoordinasikan secepatnya, karena dana sudah ada dan segera disitribusikan,” ujarnya.

Diketahui, Kaltim tercatat berhasil menurunkan emisi kabon sekitar 30 juta ton CO2 dan yang dilakukan penilaian oleh Word Bank adalah sebesar 22 juta ton CO2. Diberitakan sebelumnya, strategi pembangunan ekonomi secara berkelanjutan diinisiasi sejak tahun 2011. Tahun 2019, Kaltim memuat semua program-program Penurunan Emisi Karbon masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2019-2023. Sasaran utama kebijakan Pemprov Kaltim, menurunkan emisi gas rumah kaca dari 25 persen pada tahun 2019, menjadi 29 persen pada tahun 2023. Upaya ini juga dilakukan Pemprov Kaltim tentunya tidak sendiri. Semua pihak digandeng untuk sama-sama berkomitmen dalam penurunan emisi karbon. Baik pemerintah Kabupaten/Kota, TNI-Polri, pihak swasta, NGO hingga masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Program Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund (FCPF-CF) yang dikelola World Bank atau Bang Dunia, Kaltim ditarget bisa menurunkan emisi karbon dan telah dimulai tahun 2020 hingga berakhir pada 2024 nanti. Target penurunan emisi sebesar 5 juta ton CO2 atau setara 25 juta US Dollar pada 2021.

Dilanjutkan sebesar 8 juta ton CO2 atau setara 40 juta US Dollar tahun 2023. Serta sebesar 9 juta ton atau setara 45 juta US Dollar pada tahun 2024, sehingga total mencapai 110 juta US Dollar. Dia mengungkapkan bahwa Kaltim telah berhasil menurunkan 25 juta ton emisi karbon setara CO2 pada tahap pertama periode 2019-2020. “Penurunan emisi Kaltim dari tahun 2019 ke 2020 telah mengalami pencapaian sebesar 66 persen dari 27,5 juta ton CO2 menjadi 9,3 juta ton CO2 di akhir 2020,” terang Gubernur Isran.

Berbasis Kinerja

Sementara itu dalam keterangan resmi, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Djoko Hendratto menjelaskan, program REDD+KLHK World Bank melalui FCPF-CF dimulai dengan adanya penandatanganan letter of intent (LoI).

Isi perjanjian itu juga tertera skema pembayaran berbasis kinerja penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di Provinsi Kaltim pada 20 September 2017, kemudian direvisi melalui LoI 12 Oktober 2019. “Dengan potensi dana sebesar USD 110 juta atau Rp1,7 triliun yang akan dibayarkan kepada pemerintah Indonesia melalui BPDLH kepada Provinsi Kaltim. Atas kinerja pengurangan emisi GRK Pemprov Kalrim yang didampingi Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) telah berhasil menunjukan kinerja dan pembayaran RPP pertama dalam bentuk advance payment oleh World Bank,” beber Djoko. Lebih lanjut, BPDLH telah menerima USD 20,9 juta atau sekitar Rp313 miliar dan akan disalurkan kepada Pemprov Kaltim dan 8 kabupaten/kota sebesar Rp260 miliar.

Dimana Rp110 miliar melalui skema APBD dan RP150 miliar akan disalurkan kepada 441 desa melalui lembaga yang ditunjuk Pemprov Kaltim. “Peruntukan dana tersebut ditujukan untuk operasionalisasi pelaksanaan program FCPF-CF, insentif untuk pihak-pihak yang berkontribusi pada penurunan emisi di lingkup Kaltim,” tegasnya.

Selain itu, ada pula reward untuk masyarakat hukum adat (MHA) yang melaksanakan perlindungan hutan pada Provinsi Kaltim. Pembayaran berbasis kinerja atau Result Based Payment (RBP)[3] berbasis yuridiksi pada Provinsi Kaltim merupakan pembayaran yang baru pertama kali terjadi di Indonesia.

Keberhasilan pengurangan GRK melalui program REDD+ telah menunjukkan kepada dunia global bahwa transformasi ekonomi hijau telah dilakukan di Indonesia melalui Provinsi Kaltim. Serta dapat menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kualitas lingkungan hidup. “Ini merupakan bentuk kepercayaan dunia internasional melalui World Bank kepada pemerintah Indonesia. Kementerian LHK bertindak selaku pengampu program pada lingkup nasional. Pemprov Kaltim selaku pengampu program sub nasional. Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai benefit manager serta BPDLH bertindak sebagai trusty,” jelas Djoko. (uws)

Catatan:

  1. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2019 tentang Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi di Daerah (PP 24/2019), pemberian insentif dan/atau pemberian kemudahan dilakukan berdasarkan prinsip:
  2. kepastian hukum;
  3. kesetaraan;
  4. transparansi;
  5. akuntabilitas; dan
  6. efektif dan efisien.
  7. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 PP 24/2019 pemberian insentif dan/atau pemberian kemudahan diberikan kepada masyarakat dan/atau investor yang memenuhi kriteria:
    1. memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat;
    2. menyerap tenaga kerja;
    3. menggunakan sebagian besar sumber daya lokal;
    4. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik;
    5. memberikan kontribusi dalam peningkatan produk domestik regional bruto;
    6. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
    7. pembangunan infrastruktur;
    8. melakukan alih teknologi;
    9. melakukan industri pionir;
    10. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
    11. bermitra dengan usaha mikro, kecil, atau koperasi;
    12. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri;
    13. melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prograrn prioritas nasional dan/atau daerah; dan/atau
    14. berorientasi ekspor.

[1] Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

[2] Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2013 tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut, Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan, dan Lahan Gambut (Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang selanjutnya disebut REDD+, adalah upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari deforestasi, degradasi hutan, dan lahan gambut yang dilaksanakan dalam lahan berhutan dan lahan bergambut pada kawasan hutan dan non kawasan hutan, serta pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon disertai dengan manfaat tambahan berupa keanekaragaman hayati, peningkatan kesejahteraan masyarakat adat/lokal, dan peningkatan kelestarian produksi jasa ekosistem lain.

[3] Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, Pembayaran Berbasis Kinerja (Result-Based Payment), adalah insentif atau pembayaran yang diperoleh dari hasil capaian pengurangan Emisi GRK yang telah diverifikasi dan/atau tersertifikasi dan manfaat selain karbon yang telah divalidasi.