SAMARINDA – Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kejati Kaltim) menahan empat orang tersangka[1]) kasus dugaan korupsi pembayaran uang ganti rugi[2]) perumahan Koperasi Pegawai Negeri (KPN) oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tahun 2019. “Penahanan[3]) dilakukan selama 20 hari ke depan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIA Samarinda mulai dari hari ini sampai 5 Februari 2024,” kata Wakil Kepala Kejati Kaltim Roch Adi Wibowo di Samarinda, Selasa.
Ia mengatakan penahanan dilakukan setelah tim penyidik menemukan alat bukti yang cukup untuk menetapkan status tersangka kepada keempat orang tersebut. Empat tersangka yang ditahan adalah mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kutai Timur berinisial S, mantan Sekretaris BPKAD Kabupaten Kutai Timur MH, Pejabat Pembuat Komitmen BPKAD Kabupaten Kutai Timur berinisial D, dan Direktur CV Berkat Kaltim berinisial S.
Menurut Adi Wibowo, kasus ini bermula dari perbuatan wanprestasi[4]) yang dilakukan KPN Tuah Bumi Untung Benua kepada CV Berkat Kaltim terkait pembangunan perumahan. Setelah melalui proses perdata, KPN diwajibkan membayar ganti rugi kepada CV Berkat Kaltim. “Namun, CV Berkat Kaltim secara sengaja menagih uang ganti rugi tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, padahal hal itu bukan merupakan kewajiban pemerintah,” jelasnya. Selanjutnya, kata Wakajati, pemerintah melalui BPKAD menganggarkan dan membayarkan uang ganti rugi tersebut kepada CV Berkat Kaltim dari APBD Kutai Timur tahun 2019.
Akibat perbuatan tersebut, negara mengalami kerugian sebesar Rp4,98 miliar berdasarkan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara[5]) oleh BPKP[6] Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur. Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Alasan penahanan adalah diduga para tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana,” kata Adi. Selain itu, perbuatan yang dilakukan para tersangka merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun.
Sumber berita:
- https://mediakaltim.com/kejati-kaltim-tahan-4-tersangka-kasus-korupsi-perumahan-kpn-di-kutim/, Kejati Kaltim Tahan 4 Tersangka Kasus Korupsi Perumahan KPN di Kutim, 16/01/2024
- https://kaltim.antaranews.com/berita/205332/kejati-kaltim-tahan-empat-tersangka-korupsi-perumahan-kpn, Kejati Kaltim Tahan Empat Tersangka Korupsi Perumahan KPN, 16/01/2024
- https://teraskaltim.id/2024/01/16/kejati-kaltim-tahan-4-tersangka-korupsi-perumahan-kpn-kutim-rugikan-negara-rp-49-miliar/, Kejati Kaltim Tahan 4 Tersangka Korupsi Perumahan KPN, Rugikan Negara Rp49 Miliar, 16/01/2024
Catatan:
- Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
- Berdasarkan Pasal 1 angka 21 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.
- Berdasarkan Pasal 20 KUHAP, penyidik berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu, atau penuntutan maupun untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
- Berdasarkan Pasal 21 KUHAP, seorang tersangka/terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dapat ditahan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Syarat subjektif yaitu dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
- Syarat objektif yaitu yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
- tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
- tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).
- Penahanan disertai dengan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan dan tembusannya harus diberikan kepada keluarganya.
- Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menerangkan sebagai berikut:
- Pasal 2 ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
- Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
[1] Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, yakni minimal 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
[2] Pasal 1 angka 17 pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Biaya Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.
[3] Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
(Pasal 1 Angka 21 KUHAP).
[4] Wanprestasi terjadi saat tidak terlaksananya kewajiban kontrak; debitur tidak berprestasi, keliru berprestasi, atau terlambat berprestasi. Tidak berprestasi terjadi ketika debitur menolak memberikan kewajiban, sementara keliru berprestasi terjadi ketika debitur menganggap telah memenuhi kewajiban, tetapi kenyataannya tidak sesuai. Terlambat berprestasi terjadi saat objek prestasi debitur masih berguna bagi kreditor, tetapi tidak sesuai perjanjian. Wanprestasi dapat disebabkan oleh kesengajaan, kelalaian debitur, atau keadaan memaksa (overmacht). Sumber: Aga Yurista Pambayun, ‘Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Di Pemerintah Kabupaten Sleman’, DSpace, 2016, pp. 92–93 <https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8520> [accessed 22 January 2024].
[5] Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan).
[6] Berdasarkan Pasal 2 dan 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memiliki tugas dan fungsi meliputi perumusan kebijakan pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional, pelaksanaan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan pengawasan intern terhadap berbagai aspek, seperti penerimaan dan pengeluaran keuangan negara/daerah, pemanfaatan aset negara/daerah, serta program/kebijakan pemerintah yang strategis. Selain itu, BPKP juga melakukan koordinasi, pembinaan kapabilitas, dan dukungan administratif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPKP. Sumber: Tugas dan Fungsi. Situs Resmi BPKP-RI. (2022). https://www.bpkp.go.id/konten/1/Tugas-dan-Fungsi.bpkp.